Jakarta - Ketika Steve McManaman menarik keluar nama Manchester United, mereka yang menyaksikan acara pengundian itu tahu: satu laga besar tercipta. United dan Real Madrid, ada cerita unik di situ.
Ya, jauh sebelum hari pengundian babak 16 besar Liga Champions itu, ada cukup banyak cerita untuk dikisahkan di balik kedua klub tersebut. Kalau boleh disebut, punya romantismenya sendiri. Romantisme tersebut jauh adanya bahkan sebelum cerita Jose Mourinho dan Sir Alex Ferguson kerap bertemu dan saling berbincang sembari membuka sebotol anggur.
Okelah jika itu bukan sebuah bentuk romantisme. Silakan sebut dengan istilah lainnya. Tapi, Madrid dan United memang punya koneksi unik. Terlebih jika Anda memandangnya dari kacamata Sir Alex, koneksi tersebut akan makin terasa unik.
Pernahkah Anda mendengar cerita pria tua itu mengenai Ferenc Puskas? Mereka yang pernah mendengarnya pasti tahu betapa permainan Puskas b egitu membekas di benak Alex. Puskas tak lain dan tak bukan adalah legenda Hongaria -- sekaligus legenda sepakbola -- yang sebagian kariernya dihabiskan di Madrid. Ia wafat pada 2006 dan itu membuat ingatan Alex melayang ke Hampden Park pada 1960.
Hari itu Puskas dengan nomor 10-nya melumat Eintracht Frankfurt tanpa ampun. Madrid menang 7-3, Puskas mencetak empat gol, sementara tiga lainnya dihabiskan oleh legenda Madrid lain yang, Alfredo Di Stefano. Hampden Park penuh sesak, dan Sir Alex ada di tempat itu.
Bertahun-tahun kemudian, cerita kemenangan Madrid itu dituturkannya dengan jelas. Dia mengaku beruntung bisa menyaksikan Puskas bermain beberapa kali dan tak ragu menyebut Puskas sebagai salah satu pemain yang spesial. Lebih dari itu, Alex juga mengagumi permainan Puskas dan Mighty Magyars Hongaria. Pria asal Skotlandia itu bahkan ingat betul bagaimana Hongaria melindas Inggris di Wembley pada 1953.
"Saya punya banyak memori t entangnya. Saya menyaksikannya kala menjuarai European Cup (sekarang Liga Champions) pada 1960. Pada hari-harinya, dia adalah pemain yang spesial," tutur Sir Alex.
Konon, permainan Madrid dan Hongaria (khususnya Puskas) kala itu meletakkan benih taktik sepakbola di sudut-sudut terpencil di benak Ferguson muda. Ada yang menyebut, saking berbekasnya laga di Hampden Park itu, Alex ingin membangun tim yang kurang lebih sama. Pencarian akan tim seperti itu kelak akan berlangsung lama, bahkan sampai akhirnya dia tiba di sebuah tim yang tengah menurun. Tim itu bernama Manchester United.
Kala United tak kunjung bisa menjuarai Liga Inggris, Sir Alex begitu putus asa. Dia menawar semua pemain depan yang ada; David Hirst dari Sheffield Wednesday, Alan Shearer yang ketika itu masih bermain untuk Southampton, tapi akhirnya malah mendapatkan Dion Dublin. Tapi, Dublin terbukti tidak cukup. Setelah satu musim yang berakhir dengan kegagalan lagi, di mana gelar juara melayang ke Leeds United, Alex akhirnya menemukan kepingan terakhir yang dicarinya: Eric Cantona.
Bersama Cantona, United mengawali kejayaan di tanah Inggris. Tapi, belum di Eropa. Jika Anda menyaksikan season review sekitar tahun-tahun itu, maka Anda akan menemukan pertanyaan demikian, "Apakah Anda (Ferguson) akan pensiun jika United akhirnya menjuarai Eropa?". Fergie hanya tersenyum menjawab pertanyaan tersebut. Tapi, pertanyaan itu sesungguhnya meninggalkan kesan yang cukup dalam.
Saking ingin membangun tim yang bisa menaklukkan Eropa, Alex disebut-sebut ingin membangun tim yang mirip-mirip dengan Madrid pada era Puskas atau Hongaria pada era Mighty Magyars. Sampai hari ini, dia bahkan masih mengaku heran Hongaria gagal jadi juara dunia pada 1954. Hongaria pada waktu itu unik, dan tidak hanya punya Puskas, tetapi juga nama lain seperti Sandor Kocsis. Ada pula Nandor Hidegkuti, seorang "nomor 9" yang posisinya tidak statis berdiri di depan, t etapi juga turun hingga ke lini tengah. Taktik Hongaria inilah yang dilihat Alex begitu memporak-porandakan Inggris.
Untuk membangunnya, dia butuh pemain yang pas, dan oleh karenanya, pada suatu waktu, dia pernah dikabarkan mengincar gelandang muda Barcelona, namanya Pep Guardiola. Impian untuk menggaet Guardiola itu tidak tercapai dan akhirnya tidak akan pernah tercapai. Alex harus menunggu bertahun-tahun lagi untuk menaklukkan Eropa.
United akhirnya menjadi juara pada 1999, tapi tim yang sesungguhnya relatif lebih sederhana dibanding apa yang ada di benak Alex. Tak sampai satu musim setelah meraih mahkota Eropa di Barcelona, pada musim 1999/2000, Sir Alex akhirnya bertemu dengan Madrid. Kala itu komentator televisi melabeli laganya sebagai "The Holder against The Keeper". The Holder adalah untuk United karena merekalah juara bertahannya. Sementara The Keeper adalah untuk Madrid karena mereka, sebagai pengoleksi gelar terbanyak, di ibaratkan sebagai pemilik trofi Eropa itu.
Keadaannya sungguh berbeda. Ini memang bukan pertama kalinya Sir Alex bertemu Madrid. Di tahun 1983 dia pernah membawa Aberdeen mengalahkan Madrid, yang kala itu dilatih Di Stefano, pada fnal Piala Winners. Pada pertandingan itulah Sir Alex konon belajar pentingnya sebuah psy war. Dia dikisahkan diberi saran oleh Jock Stein -- eks pelatih tim nasional Skotlandia -- untuk memberikan sebotol whiskey kepada Di Stefano sebagai pertanda bahwa Aberdeen sudah cukup senang bisa bermain di final. Nyatanya? Aberdeen menang 2-1.
Tapi, Madrid pada 1999/2000 itu benar-benar memberikan pelajaran lainnya untuk Sir Alex. Fernando Redondo dengan mudah melewati Henning Berg, merangsek ke dalam kotak penalti, dan memberikan bola ke tengah kotak penalti. Raul Gonzalez, yang entah dari mana datangnya, berlari masuk tak terkawal dan menyambar bola itu. United kebobolan oleh gol yang sungguh brilian dan mer eka kalah 2-3 malam itu. Piala gagal dipertahankan dan Madrid melaju ke final sampai jadi juara.
Mungkin Sir Alex butuh sesuatu yang lebih jika timnya diharuskan bertemu dengan jenius semodel Redondo. Tahun 2003 kedua tim kembali bertemu dan United lagi-lagi berujung jadi tim yang kalah. Sir Alex kemudian membutuhkan waktu lima tahun sampai akhirnya benar-benar bisa membangun tim yang bisa berjaya di Eropa, tim yang mirip dengan idealisme masa mudanya.
Kali ini kepingan itu terbentuk dari sekelompok pemain muda bernama Wayne Rooney, Carlos Tevez, dan Cristiano Ronaldo. Tak ada yang meragukan ketajaman Ronaldo pada musim di mana United jadi juara Eropa pada 2008. Tapi, kombinasinya di lini depan bersama Rooney dan Tevez-lah yang benar-benar menghidupkan apa yang sudah terpendam di benak Alex selama bertahun-tahun.
Situs taktik Zonal Marking, menyebut bahwa tim United kala itu adalah salah satu tim terbaik dalam satu dekade terakhir. Mereka bermain tanpa penyerang murni. Rooney dan Tevez sejatinya memang penyerang, tetapi mereka kerap turun ke lini tengah, membuka ruang, dan membiarkan Ronaldo masuk dari lini kedua. Taktik ini mirip dengan apa yang dilihat Alex pada Puskas dan tim-tim tempat dia bermain, Madrid dan Hongaria, bertahun-tahun lampau.
Masih ada koneksi lainnya, meski itu adalah yang terkecil sekalipun, seperti kenyataan bahwa Madrid kerap menampung bintang-bintang United semodel Ronaldo, David Beckham atau Ruud van Nistelrooy. Yang lainnya, apalagi kalau bukan rumor yang selalu beredar seputar masa depan Mourinho. Bukan rahasia apabila The Special One selalu dirumorkan bakal menjadi pengganti Sir Alex kelak, meski Sir Alex sendiri tampak tidak ambil pusing ke mana Mourinho akan melangkah setelahnya.
Silakan menunggu saja, mereka-reka, dan memprediksi bagaimana hasil laga United vs Madrid nanti. Masih ada sekitar satu setengah bulan lagi sebelum laga i tu kick-off. Untuk sekarang, biarkan Alex atau Mourinho memilih, anggur terbaik mana yang akan mereka buka nanti.
==
* Penulis adalah wartawan detiksport. Akun twitter: @RossiFinza
( roz / a2s )
Via: Romantisme dan Koneksi Unik United-Madrid
beri komentar anda tentang blog ini
EmoticonEmoticon