Jakarta - Dia bukan klub besar tapi konsisten berada di level atas Liga Italia. Dia bukan klub kaya tapi neraca keuangannya selalu positif. Dia adalah sebuah kisah lain sepakbola modern.
Pada pertandingan El Classico antara Barcelona dan Real Madrid pada 7 Oktober 2012 lalu, terhitung 96.589 orang datang menyaksikan langsung pertarungan antara dua klub terbaik di Spanyol itu. Kapasitas stadion klub asal Catalan itu terisi penuh. Namun, jumlah yang cukup fantastis itu tak hanya dapat mengisi satu stadion Camp Nou. Jika ke-96 ribu orang tersebut dipindahkan, mereka pun dapat mengisi satu kota kecil di timur laut Italia: Udine.
Di kota kecil itu pada 1896 berdiri Udinese Calcio, salah satu klub tertua di Italia setelah Genoa. Cerita tentang Udinese adalah cerita tentang "Sang Zebra Kecil" (Zebrette – julukan Udinese) yang dengan kepintarannya mengelola keuangan dapat bertahan melawan arus sepakbola m odern yang menggerus klub-klub kecil.
Dalam sepakbola modern, kuantitas sudah jadi segalanya bagi klub. Di balik sihir tendangan bebas Cristiano Ronaldo, tarian Lionel Messi dan aksi-aksi pemain top di lapangan hijau lainnya, sepakbola menyuguhkan realita tak terbantahkan: klub-klub kecil yang berjuang menentang takdir sebagai klub kasta bawah. Menentang takdir di sini bukan dalam artian menyaingi klub papan atas dalam meraih piala, namun hanya sekedar untuk ada. To exist.
Demikian pula dengan Udinese. Berada pada kota dengan jumlah penduduk kurang lebih 100 ribu jiwa tentu jadi suatu tantangan tersendiri bagi sang pemilik, Giampaolo Pozzo. Kapasitas Stadion Friuli, sebesar 30 ribu orang, tiap tahunnya rata-rata hanya terisi setengahnya. Bahkan, menurut salah satu blog finansial Swiss Ramble, hasil dari penjualan tiket stadion selama satu musim untuk Udinese hanya menyamai satu kali matchday-nya Manchester United. Total pemasukan Udi nese selama satu tahun juga lebih kecil dari seluruh tim yang bermain di EPL.
Namun itu tak menghentikan Udinese untuk menunjukkan tajinya di Serie-A. Pada dua musim terakhir Udinese mampu bercokol di zona Liga Champions, sementara sang kapten Antonio di Natale berada di urutan teratas daftar pencetak gol. Francesco Guidolin, sang allenatore, pun pada musim lalu dianugrahi gelar pelatih terbaik atas prestasinya di liga.
Tapi capaian terbaik Udinese sebenarnya terletak pada konsistensinya berada di Serie-A. Semenjak musim 1995/1996 Udinese memang belum pernah lagi terdegradasi ke Serie-B. Padahal, di periode yang sama, klub-klub yang terhitung lebih besar, seperti Fiorentina, Napoli, Sampdoria, atau Parma, pernah terpuruk di divisi bawah bahkan sampai mengalami kebangkrutan. Belum lagi jika bicara mengenai klub dari kota kecil lainnya seperti Catania, Siena, atau Chievo yang tak pernah lama bertahan di Serie-A.
Lalu bagaimana caran ya Zebrette mampu mengakali ketatnya kompetisi?
Model Transfer Pemain dan Jejaring Kuat
Adalah sang pemilik Giampaolo Pozzo, yang kemudian dibantu oleh anaknya Gino, yang menjadi otak di balik kesuksesan Udinese. Cara yang mereka lakukan adalah dengan menaklukkan sistem pemantauan bakat dan transfer pemain.
Selama dua puluh tahun, Udinese berhasil mencari bibit-bibit pemain berbakat, melatih dan mengembangkan mereka, lalu menjualnya dengan keuntungan maksimal. Pada 2011 Alexis Sanchez dijual ke Barcelona dengan harga 26 juta euro. Sementara Kwado Asamoah, Fabio Quagriarella, Mauricio Isla, juga berhasil menambah pundi-pundi Udinese setelah dibeli oleh Juventus. Daftarnya pun masih panjang. Ada Oliver Bierhoff (dibeli dari Ascoli – dijual ke AC Milan), David Pizzaro (dibeli dari Santiago Wanderers – dijual ke Inter Milan), Sulley Muntari (dari Liberty Proffesional – dijual ke Portsmouth), Samir Han danovic (dibeli dari Domzale – dijual ke Inter Milan) atau Gokhan Inler (dari Aarau – dijual ke Napoli). Bahkan, pada 1999 saja Udinese pernah menjual Marcio Amaroso ke Parma dengan harga 25 juta poundsterling!
Dengan aktivitas transfer tersebut, dalam satu dekade terakhir Udinese bisa mendapatkan pemasukan hampir sebesar 200 juta poundsterling serta keuntungan bersih senilai 100 juta poundsterling. Mereka juga jadi salah satu dari sedikit tim di Serie-A yang neraca keuangannya positif.
Kedengarannya mudah, memang: beli untuk jual. Tapi praktek transfer pemain itu hanya jadi puncak piramida dari sekian banyak aktivitas yang dilakukan Udinese.
Dalam satu wawancara dengan koran The Times (Inggris), Gino Pozzo mengatakan bahwa ada dua hal paling berat yang harus dilakoni Udinese: memilih pemain muda lalu mengembangkan bakat mereka.
"Kami menginvestasikan uang di kelompok pemain usia 17-23 lebih banyak dari klub Serie-A lainnya. Tim-tim lain sering mengabaikan hal ini, karena dengan menggunakan pemain muda mereka menanggung resiko kehilangan angka di liga. Tapi kami menyusun rencana untuk jangka panjang, bukan untuk saat ini saja," ujar Gino dalam wawancara tersebut.
Untuk mencari pemain-pemain muda tersebut Udinese lalu berpaling pada negara-negara yang memiliki sumber-daya pemain dengan teknik bagus tapi dengan kisaran harga terjangkau. Bukan pada negara adidaya sepakbola. Misalnya, Argentina. Agen-agen pesepakbola di negara yang telah banyak mengimpor pemain ke Eropa tersebut selalu memasang harga lebih tinggi dari harga pasar. Hal yang sama juga terjadi di Brazil atau Uruguay.
Udinese juga enggan melirik pemain-pemain muda Italia. Hal ini karena mereka jarang diberi kesempatan bermain di tim utama, sementara gajinya sudah dipatok tinggi.
Klub ini kemudian melirik pemain-pemain dari negara-negara seperti Chile, Kolombia, negara Eropa Timur, ata u Afrika. Sekitar 50 orang pemandu bakat, yang juga berjejaring dengan ratusan pemandu-bakat lokal lain di seluruh dunia, lalu dipekerjakan untuk mencari talenta. Kekuatan jaringan pemandu bakat ini sangat mengesankan jika mengingat klub sekelas Liverpool saja tak memiliki satu pun di benua Afrika.
Tapi membeli banyak pemain muda menimbulkan masalah lanjutan. Di mana mereka akan berlatih dan memperoleh jam terbang?
Jawabannya lagi-lagi jejaring. Begitu pemain-pemain itu dibeli, mereka lalu dipinjamkan ke klub lainnya, terkadang di luar Italia, untuk mengembangkan bakat. Hingga 2011 lalu, Udinese diperkirakan memiliki 120 pemain yang sedang dipinjamkan di berbagai belahan dunia. Pemain ini akan ditarik kembali saat dinilai siap untuk masuk ke tim utama untuk menggantikan pemain yang akan dijual.
Contohnya Samir Handanovic. Semenjak dibeli Udinese pada 2004, pada usia 20 tahun, ia telah dipinjamkan ke klub Treviso, Lazio, dan Rimni sebelum ak hirnya jadi kiper si zebra kecil. Musim ini Inter Milan telah membelinya untuk menggantikan Julio Cesar sebagai kiper utama.
Trio Udinese – Granada - Watford
Berhasil dengan model tersebut, Giampaolo Pozzo lalu coba menerapkannya di dua klub berbeda, Granada di Spanyol dan Watford di Inggris. Pada 2009, Pozzo mulai berinvestasi di Granada setelah salah seorang 'perwakilan' Udinese di Spanyol, Quique Pina, membujuknya. Sementara Watford diakuisisi tahun ini karena Pozzo tertarik dengan kinerja akademinya yang baik. Dalam benak Pozzo, kolektivitas dari Udinese-Granada-Watford ini bisa menjadi alat yang cukup efektif untuk meningkatkan performa ketiga klub.
Untuk Granada sendiri, campur tangan yang dilakukan Pozzo sudah mulai membuahkan hasil. Sejumlah pemain Udinese yang dipinjamkan ke klub ini sukses meningkatkan kualitas permainan. Selain itu Granada juga berhasil mendapat 3 pemain pinjaman dari Benfica karena Pozzo dan Pina memiliki hubungan yang baik dengan klub asal Portugal tersebut.
Prestasi nyatanya langsung terlihat. Granada, yang awalnya berada di divisi tiga, dua tahun berturut-turut promosi sehingga musim ini bisa bermain di La Liga. Ini adalah kali pertama Granada berada di kompetisi yang sama dengan Barcelona dan Real Madrid semenjak 1976.
Sementara untuk Watford perubahan baru saja dimulai. Dengan dingin Pozzo memecat pelatih Watford musim lalu, Sean Dyche, dan menggantinya dengan Gianfranco Zola. Di kursi direktur teknik, Gianluca Nani, seorang mantan pemandu bakat, juga ditempatkan. Ia diharapkan bisa menjadi sosok Pina untuk Watford.
Untuk Udinese, Granada dan Watford ini bisa berfungsi layaknya tim cadangan, mirip dengan apa yang dilakukan oleh Barcelona dan Real Madrid. Keduanya memiliki tim-B di divisi bawah untuk mengembangkan pemain muda mereka.
Tapi model ini tidak selalu berjalan mulus tanpa risiko begitu saja. Menjual pemain utama di tim berarti mengganggu stabilitas dan mempengaruhi performa di lapangan. Untuk itu Pozzo harus bisa menemukan pelatih seperti Guidolin yang mampu meracik tim dengan cepat setiap musim berganti. Demikian pula dengan Di Natale. Pemain berusia 35 tahun yang telah berkostum hitam-putih sejak 2004 ini kerap menjadi penentu pertandingan. Seberapa tergantung Udinese pada pemain ini hanya bisa diketahui saat ia memutuskan untuk pensiun.
Selain dari sisi teknis, hambatan juga datang dari suporter. Fans Udinese kerap menuntut pada Pozzo untuk tidak membagi perhatiannya pada tim lain. Uang yang diinvestasikan ke Granada maupun Watford juga, menurut mereka, sudah sepantasnya digunakan untuk memperkuat Udinese.
Sistem peminjaman pemain pun tak lepas dari kritik. Skuad yang tipis memaksa Udinese untuk memainkan pemain kelas dua-nya di Europe League, padahal mereka bisa meminjamkan 10 pemain ke Watford dan 6 pemain ke Granada. Kenapa tidak digunakan saja untuk menambah pasukan di tim utama?
==
* Penulis adalah analis dari Pandit Football Indonesia, tinggal di Bandung. Akun : @vetriciawizach
( krs / a2s )
Via: Kisah Lain Sepakbola Modern dari Friuli
beri komentar anda tentang blog ini
EmoticonEmoticon